Friday, November 21, 2008

HISTORY OF MALUKU III

The era of World War Two

Redirecting the Pacific War December 7, 1941 as part of World War II record a new era in the history of colonialism in Indonesia. Governor General of the Netherlands A.W.L. Tjarda van Starkenborgh, through radio, the government stated that the Dutch East Indies in the war with Japan. Japanese army did not seize many difficulties in the archipelago of Indonesia. In the Maluku Islands, Japanese troops entered from the north through the island of Morotai and east through the islands Misool. In a short time all the Maluku Islands can be mastered Japanese. Please note that in World War II, Australian soldiers had combat against the Japanese army in the village Tawiri. And, for memperingatinya monument built in the village Tawiri Australia (not far from the Pattimura Airport).

Two days after Independence Proclamation of the Republic of Indonesia, Maluku declared as a province of the Republic of Indonesia. However, the establishment of the position and the Maluku Province, when it must be done in Jakarta, for immediately after the surrender of Japan, the Netherlands (NICA) directly enter Maluku and revive the system of governance in the Colonial Northeast. Netherlands continue to try to control the region rich with spice-rempahnya this - even after the recognition of sovereignty in 1949 - sponsored by the "Republic of South Maluku (RMS).

Culture

Socio-cultural values that it has been in public life is one of the Maluku capital increase for the unity and community spirit, including the development in this area. Relationships of kinship and cultural customs must be encouraged so that they can create synergy on the efforts to build a new Maluku in the future. Supporting culture in Maluku consists of hundreds of sub-tribes, which can be from the users local language that is known to still be used as active 117 from the number of local languages which have more than 130s. Although people in this area reflect the characteristics of a multi-cultural society, but basically have the same parity-cultural values as a collective representation. One of them is the philosophy that Siwalima during this institutionalized as a world view or perspective on the life of the community together in diversity. In this philosophy, which contained various regulation have common values and can be found in all regions of Maluku. A cultural institution such as masohi, maren, sweri, sasi, hawear, Impleme gandong, and others. The philosophy Siwalima definition has become a symbol of identity area, because this is dipaterikan as a logo and the Government of Maluku. In the context of regional development, the values of local culture that still exist and live in the community, can be seen as social capital that need to be used for the interest of regional development

Era Perang Dunia Ke Dua

Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jendral Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh , melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang. Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan, untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di desa Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu propinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Propinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan colonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini – bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 – dengan mensponsori terbentuknya "Republik Maluku Selatan" (RMS).

Budaya

Nilai-nilai sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Maluku merupakan salah satu modal dasar bagi peningkatan persatuan dan kesatuan termasuk menyemangati masyarakat dalam melaksanakan pembangunan di daerah ini. Hubungan-hubungan kekerabatan adat dan budaya harus terus didorong sehingga dapat menciptakan sinergitas yang andal bagi upaya bersama membangun Maluku Baru di masa mendatang. Pendukung kebudayaan di Maluku terdiri dari ratusan sub suku, yang dapat diindikasikan dari pengguna bahasa lokal yang diketahui masih aktif dipergunakan sebanyak 117 dari jumlah bahasa lokal yang pernah ada kurang lebih 130-an. Meskipun masyarakat di daerah ini mencerminkan karakteristik masyarakat yang multi kultur, tetapi pada dasarnya mempunyai kesamaan-kesamaan nilai budaya sebagai representasi kolektif. Salah satu diantaranya adalah filosofi Siwalima yang selama ini telah melembaga sebagai world view atau cara pandang masyarakat tentang kehidupan bersama dalam kepelbagaian. Di dalam filosofi ini, terkandung berbagai pranata yang memiliki common values dan dapat ditemukan di seluruh wilayah Maluku. Sebutlah pranata budaya seperti masohi, maren, sweri, sasi, hawear, pela gandong, dan lain sebagainya. Adapun filosofi Siwalima dimaksud telah menjadi simbol identitas daerah, karena selama ini sudah dipaterikan sebagai dan menjadi logo dari Pemerintah Daerah Maluku. Dalam konteks pembangunan daerah, nilai-nilai budaya lokal yang masih ada dan hidup di kalangan masyarakat, dapat dipandang sebagai modal sosial yang perlu dimanfaatkan bagi kepentingan pembangunan daerah

0 komentar:

Post a Comment