Monday, April 13, 2009

ONTSTAAN VAN PELAS, BONDGENOTEN

Een van de cultuurvormen die een belangrijke plaats inneemt in het leven van (midden, zuid) molukkers in Nederland, is het pela-schap. Pela-schap is een duurzame en onverbrekelijke verbond dat molukse voorouders gesloten hebben met bewoners van een of meerdere dorpen. Het dateert uit de tijd van het koppensnellen en uit de tijd waarin oorlogen tussen de dorpen werden gevoerd.

In de periode dat er koppen werden gesneld, sloot men onder andere pela-verbonden om met vereende krachten andere dorpen aan te vallen. Er waren dorpen die een pela-pact sloten met koppensnellers. Zo'n overeenkomst had zelfbescherming tot doel. Door een pela-verbond met de aanvallers aan te gaan, schiep men namelijk een sfeer van bloedverwantschap. Daardoor bleef de dorpsbewoners een afslachting bespaard.

Naast een offensieve en een defensieve functie sloot met een pela-pact om de vrede tussen de oorlogvoerende dorpen te herstellen. In dit geval konden de redenen voor het aangaan van een pela-verbond zijn:

  • Gelijke sterkte tussen de strijdende partijen, onbeslist gevecht of langdurende vetes waarbij veel slachtoffers vielen. Er waren dus uiteenlopende aanleidingen om een pela-verbond aan te gaan:
  • Vredesverdragen sluiten
  • Vechtpartijen voorkomen
  • Oorlog voeren
  • Het verstevigen van familiebanden
  • Het aangaan van vriendschapsrelaties
  • Het stimuleren van onderlinge handel

CATEGORIEËN VAN PELA-SCHAP

Het pela - schap kunnen we in aantal categorieën onderscheiden, de meest voorkomende categorieën zijn:

  • Pela tuni of pela keras
  • Pela tumpah darah
  • Pela batu karang
  • Pela gandong

Pela tempat sirih

clip_image001

clip_image002

OMGANGSREGELS

Er zijn omgangsregels verbonden aan het pela-schap.

Zo mogen pela-leden van het pela-verbond Allang - Latuhalat bijvoorbeeld niet boos worden op hun pela, niet liegen tegen hun pela en mogen zijn een verzoek van hun pela niet weigeren. Het overtreden van de regels kan slechte gevolgen hebben zoals ziekte, blindheid of de dood.

In de dagelijkse omgang tonen de pela-leden respect jegens elkaar. Afhankelijk van het pela-soort spreken zij elkaar welbewust met 'pela', 'bongso', of 'gandong', aan. Zo spreken bijvoorbeeld pela - leden van het pela - verbond tussen de dorpen Hutumuri, Siri-Sori en Tamilou elkaar aan met 'bongso', bongso betekent jongste.

De band die door het verbond ontstaan is, is een band tussen een oudere en een jongere broer of zus. Zoals de oudste en de oudere broer zich over de jongste (bongso) ontfermen, zo ontfermen pela-leden van de betreffende dorpen zich over elkaar als waren ze de jongste, bongso. Aan het pela-schap zijn regels en afspraken verbonden die de leden moeten naleven. Deze kunnen onder andere zijn:

  • Onderling trouwverbod,
  • Elkaar steunen wanneer daar behoefte aan is, zoals tijdens een begrafenis of bruiloft. De kumpulan levert daarbij een bijdrage als bewaker van de pela-regels.

Een kumpulan is een "vereniging van molukkers gebaseerd op de mythologische verwantschap" van onder andere bongso's en pela's. Een kumpulan is opgericht met het doel elkaar in voorspoed (waaronder een bruiloft) of in tegenspoed (waaronder het overlijden van iemand) te ondersteunen"

Het is bekend dat pela keras en pela gadong een huwelijk tussen pela-genoten ten strengste verbieden. Dit verbod ervaren Molukse jongeren als drukkend omdat liefdesrelatie in de weg staat. Men is immers in feite bloedbroeder en -zuster. Zo'n huwelijk wordt dan ook als incestueus beschouwd en heeft ernstige gevolgen.

clip_image004 clip_image006


Pela komt van het woord pila en betekent "voor ons allen iets doen" en soms krijgt het woord pila het achtervoegsel "tu" waardoor pilatu ontstaat in de betekenis van versterken, de orde herstellen, een voorwerp maken dat moeilijk breekt. Later is Pilatu veranderd in pela. Ook heeft het woord pela de betekenis gekregen van liefdevolle broeder of familielid.

Pela's (keras) van Haria zijn:

Hative Besar

Waesamu

Siri-Sori

Lillibooi

clip_image007

clip_image008

Read More...Baca selanjutnya...

MAURICE RUGEBREGT - SIOH MALUKU NOSTALGIA FOR THE MOLUCCAS



Munich Records
clip_image001


Komposisi:
1 Nona
2 Cade Voce
3 Hela Hela Rotan
4 Oleh Sioh
5 Lah Pagi Hari
6 Apa Apa Djaga Kelapa
7 Gandong
8 Sajang Di Lal‚
9 Saul‚
10.Bulan Pakai Pajong
11. Ases‚ & Kol‚ Kol‚

Musisi :
Maurice Rugebregt
(guitar)

Komposisi-komposisi tradisi tidak akan pernah habis digali dan dihidangkan menjadi sesuatu yang segar. Ini dibuktikan oleh Maurice Rugebregt dalam album pertamanya yang bertajuk Sioh Maluku – Nostalgia for the Moluccas. Sebagai keturunan Ambon, pria kelahiran Belanda tahun 1969 ini mengemas ulang lagu-lagu tradisional Maluku melalui kemahirannya bermain gitar. Aransemen lagu-lagu itu ia buat dalam berbagai gaya jazz. Hasilnya, Anda tidak akan sekedar bernostalgia, tapi juga akan terkaget pada hasil kerja gitaris ini.

Maurice yang dibantu oleh vokalis Julia Lo’ko, Bob Wijnen (fender rhodes, piano), Han Slinger (double bass) Udo Demant (drums-percussions), dan Norman Pattiwael (percussions-tifa) sedikitnya mengaransemen ulang tujuh lagu rakyat asal Maluku. Sisanya dari sebelas lagu yang ada di album Sioh Maluku adalah lagu-lagu yang populer di ranah itu karya Katje Hehanusa, Boetje Sapury, Huwae. Lagu karya H.Ririnama berjudul “Nona’e” dimasukkan Maurice sebagai lagu pertama dengan durasi kurang dari satu menit. Lirik lagu itu; “Nona’e – Nona’e/ buka pintu beta masuk/ ada anjing gonggong beta / ada ombong basa beta/ kasi kain beta salimut/ kasi tempat beta baring/ baring dua sama-sama/ muka pusing badan limbung”, dikemas sangat sederhana dengan hanya diringi tabuhan tifa malah menjadi pembuka album yang menarik. Lagu kedua adalah adaptasi lagu tradisi, “Sajang kane” ke dalam bahasa Brazil yang dapat diartikan “Where are You?”. Lagu itu, “Cade Voce” dibuka dengan lantunan voice dan disusul gitaran Maurice yang mengambil irama funk. Tema lagu akan sebuah nostalgia sepertinya sengaja dipilih Maurice sesuai tema album, “Nostalgia for the Moluccas” dan menjawab panggilan lagu pertama. Kesinambungan dua lagu yang menarik. Berturut-turut di track berikutnya dapat disimak hasil olahan Maurice pada lagu-lagu rakyat Maluku; “Hela Hela Rotan’e”, “Oleh Sioh”, “Apa Apa Djaga Kelapa’e”, “Sajang di lale”, “Saule”, “Bulan Pakai Pajong” dan medley karya Katje Hehanussa, “Ase Se” dengan lagu rakyat “Kole Kole”. Lagu Katje lainnya, “Lah Pagi Hari” diaransemen dengan gaya bossas oleh Maurice. Sedangkan karya Boetje Sapury, “Gandong e”, dimainkan solo oleh Maurice dengan sedikit imbuhan string pada pertengahan-akhir lagu. Maurice berhasil mentransfer tema kerinduan kepada keluarga di lagu itu kepada pendengarnya. Setelah menyimak kesebelas track di album ini, Anda akan sependapat dengan Julia Lo’ko tentang kekhasan seorang gitaris bernama Maurice Rugebregt, “Maurice’s sweet, melodi and subtle guitar playing, coupled with the unique arrangements played passionately by the musicians results in a cd that is booth daring and remakable making each song a jewel.”

Bagaimana perjalanan Maurice Rugebregt mendalami permainan gitarnya? Sejak usia 12 tahun Maurice telah mendpat pendidikan musik. Gitar adalah pilihan pertamanya. Ia kemudian mendalami instrumen itu di Consevatory of Rotterdam. Disana ia berguru pada Klaus Fenter, Ben de Bruijn, dan gitaris Amerika Joe Pass. Tahun 1994 Maurice pindah ke New York dan menimba ilmu kepada Jim Hall, Peter Bernstein dan Peter Leitch. Setahun kemudian gitaris ini lulus dari konsevatori sebagai Performing Musician. Jalan musik yang telah dia tempuh antara lain finalis jazz Hoeilaart contest di Belgia bersama Hammod trionya, Ltd Edition, pemenang Dordtse Jazz Price bersama Boptale Trio, dan main di North Sea Jazz festival dengan Mijke Loeven band. Album Sioh Maluku ini adalah aksi perdana Maurice dalam sebuah album. Terima kasih kepada Radio Netherlands Music yang memproduksi dan Munich Record yang merilisnya di tahun 2003 kemarin. So, let’s hear nostalgia for the Moluccas with Maurice Rugebregt. (*/Roullandi N. Siregar/WartaJazz.com)

Read More...Baca selanjutnya...

Lied van orang Kariu

  • O leamoni
  • negri jg permai
  • dikiri ori
  • di kanan pelauw
  • airmu djernih
  • tempat basuh dan mandi
  • Oruku air minum sedjuk.
  • Biar kau djauh di tanah orang nge
  • leamoni panggil kami pulang nge
  • o leamoni
  • tempat lahir ku
  • meski aku djau
  • ku ingat padamu
  • karna aku tau
  • engkau negri atsalku
  • dan tanah datuk datuk ku
  • Biar kau djauh di tanah orang nge
  • leamoni panggil kami pulang nge
  • leamoni
  • leamon
Read More...Baca selanjutnya...

KEDATON TERNATE :

KEDATON TERNATE :

clip_image001Foto Kedaton Ternate. Secara administratif Ternate merupakan Kotamadya. Saat ini fungsi kedaton cuma menjadi penjanggah adat saja. Kedaton di pimpin seorang Sultan yang di sebut "Ou".

BENTENG DI TERNATE :

clip_image002BENTENG TOLLUCO (Benteng Holandia atau Benteng Santo Lucas),

Terletak di Kelurahan Sangaji, Ternate Utara, berjarak 2 km dari pusat kota ternate.

Benteng ini awalnya dibangun oleh Faranciscus Serao (Portugis), th.1512. Pada th.1610, direnovasi Pieter Both (Belanda) dan ditempati th.1696.

PULAU MAETARA :

clip_image003

Pulau Maitara, dilihat dari Pulau Ternate. Di latar belakang adalah Pulau Tidore. View ini kalau di geser ke kanan, maka sudut pandang Pulau Maitara akan seperti foto yang terlihat di Uang Kertas pecahan Rp.1000,- terbitan tahun 2000.

Read More...Baca selanjutnya...

kadaton sulthan Ternate

clip_image001
kadaton sulthan Ternate

clip_image003
benteng kalamata

clip_image004
permainan bambu gila Ternate

clip_image005
masjid sulthan ternate

clip_image006
gunung gamalama

clip_image007
mahkota kesultanan TERNATE

clip_image008
sultan ternate sekarang

clip_image009
sulthan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927)

Read More...Baca selanjutnya...

Jopie Latul Album Ambon Jazz Rock

 

clip_image001Side A
1. Mari Badansa (Johny Putuhena) - Jopie Latul
2. Enggo Lari (George Lewakabessy) - Jopie Latul
3. Mama Beta (Christ Kayhatu / George Lewakabessy) -Jopie Latul
4. Nusaiwe (N.N.) - Jopie Latul
5. Beta Cuma Rindu (Steefon Malaihollo) - Jopie Latul
6. Hasa Hasa Ambon (NN) - Jopie Latul
Side B
1. Huhate (N.N) - Jopie Latul
2. Bulan Terang (NN) - Jopie Latul
3. Goyang-Goyang (Thanel) - Jopie Latul
4. Ambon Manise (George Lewakabessy) - Jopie Latul
5. Kaweng Lari Pung Sangsara (Ongen Latuihamallo) - Jopie Latul
6. Beta Berlayar (NN) - Jopie Latul
Ambon Manise: Lagu gubahan "Sea Pastel" by Casiopea, Lirik: George Lewakabessy

Pendukung : Christ & The Gang
Jance Manusama: Bass (Aria SB 1000)
Karim: Drum, percussi
Christ Kayhatu: Music arranger, fender rhodes, piano accoustic, prophet V, choir
Joko: Lead rythm guitar
Embong: Alto sax, flute, piccolo, soprano
Enteng Tanamal: Supervisor
Recording engineer: Henky Sahusilawane
Studio recording: Yoan Record Jakarta Indonesia
Download Mp3 Jopie Latul Album Ambon Jazz Rock
Yang belum mengisi Buku Tamu silahkan isi dahulu di Sidebar
Download hanya untuk koleksi bukan untuk kepentingan komersial
Download - Beta Cuma Rindu (Jopie Latul)
Download - Mama Beta (Jopie Latul)

Read More...Baca selanjutnya...

Gugurnya Pattimura Diperingati Warga Maluku

clip_image001

Senin, 2 Juni 2003 Semarang & Sekitarnya

SEMARANG - Pasukan Cakalele yang asyik menari-nari yang dibawakan puluhan warga Maluku, ikut memeriahkan acara mengenang gugurnya pahlawan nasional Pattimura oleh Ikatan Keluarga Masyarakat Maluku Semarang (IKMMS) di Gedung TBRS, belum lama ini.

Peringatan gugurnya pahlawan itu diawali dengan penyerahan obor oleh Franky Sapulette kepada Dandim 0733 BS Semarang Letkol Inf Ahmad Supriyadi.

Selanjutnya Dandim membawa obor tersebut sambil dikawal pasukan Cakalele dan meletakkan obor di tempat yang sudah disiapkan didampingi sesepuh J Sipasulta, Ketua IKMMS Letkol (purn) John Tahmat dan ketua panitia Mayor CpL Marthin A Tahapary.

Selanjutnya Ir Riles Wattimena membacakan sejarah singkat perjuangan pahlawan Pattimura. Selain itu Panglima Perang Pasukan Cakalele, Kapitan Kace Tulaseket memecah buah kelapa muda dan diserahkan kepada Dandim dan sekaligus meminumnya.

Hadir pada kesempatan tersebut 12 orang tamu kehormatan dari anggota DPRD Kota Ambon dan empat orang dari jajaran eksekutif dari kota yang sama. Para tamu itu juga dalam rangka studi banding yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Ambon Letkol Inf C Talapessy Carolis.

Wali Kota Semarang H Sukawi Sutarip SH menyempatkan datang kendati agak terlambat, tetapi secara formalnya sudah diwakili Dandim 0733 BS yang dalam sambutannya mengajak agar masyarakat Maluku di Semarang turut menjaga kerukunan kehidupan berbangsa dan bernegara demi utuhnya NKRI.

Susunan pengurus IKMMS yang baru periode 2003-2007 terpilih sebagai ketua Mayor CpL Marthin A Tahapary, wakil Ny Teddy B Maricar dan Narses T Bungaa SH, sekretaris Margono Ferdinandus SH, wakil Ir R Wattimena, bendahara Drs Max Sapulette, wakil Martha I Sipasulta SE serta dibantu seksi-seksi. (C25-76)

Berita Utama | Semarang | Sala | Jawa Tengah | Olahraga | Internasional
Budaya | Wacana | Ragam | Ekonomi | Fokus | Cybernews | Berita Kemarin

Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

Read More...Baca selanjutnya...

Banda Sea and Halmahera

Banda Sea and Halmahera

Once sought by Columbus and Marco Polo, the Banda Islands were the original Spice Islands and the most coveted destination on earth, particularly by the Dutch and Portuguese who colonized the islands and exported the indigenous nutmeg and cloves. History tells of a violent past under colonial rule. Now, the seas around these tropical paradise islands are coveted for their spectacular diving and snorkelling on some of the world's richest reefs, unspoiled corals, and large pelagic fish.
Steep drop offs, impressive hard coral and some fast currents make this area absolutely breathtaking. Schools of jacks are a familiar sight, as are large tuna, many turtles, Napoleon wrasse, groupers, rays, sharks and large lobsters. Great visibility is a blessing here, and there are also some special critter sites.
The Banda Sea is surrounded by islands from the large islands of Buru, Halmahera, Ambon and Seram in the north towards Gorom, Kei and Aru in the east, the islands of Tanimbar, Wetar and Reong, and a series of smaller islands such as Babar and Moa, touching East Timor in the south. Ambon Bay is host to some of Indonesia's best critter diving. The nearby island of Halmahera is still largely unexplored and has recently produced some stunning sites.

clip_image002clip_image003

"The crew makes it look so easy, but work so hard. This is a happy ship and it shows. So many smiles, so much attention to detail, such care for the guests! The boat is lyrical and beautiful but also thoroughly modern and comfortable. Oh yeah - the diving - stunning!"
Andreas Merkl and Donna Perrot

Gunung Api: an isolated volcanic peak rising from the heart of the Banda Sea. Surrounded by crystal clear waters this uninhabited island is home to thousands of nesting seabirds. Exuding sulphur both above and below the landmark, the water is also home to extraordinary numbers of banded kraits (sea snakes), which have become a special attraction for divers. It's not unusual to have swarms of these non-aggressive sea snakes around you while diving on Gunung Api.
Lucipara: these 5 tiny atolls in the middle of the Banda Sea are the tops of undersea mountains rising up over a mile from the ocean floor. The uninhabited beaches are ideal green turtle nesting sites, while the reef's breathtaking drop off to ocean waters is ideal for diving and snorkeling. A highlight here is night diving with the rare Photoblepheron bandanensis or more commonly known as the "flash light fish".

Read More...Baca selanjutnya...